Ustadz Arifuddin, S.Ag, M.Pdi
dari Kitab Ruqyah Syar’iyyah tanpa Kesurupan, hal 75-80


Bab ini adalah bab terpenting dalam buku ini, sebagaimana judul buku Ruqyah Syar’iyyah tanpa Kesurupan merupakan fenomena ruqyah syar’iyyah yang boleh dikatakan sebagai teori baru. Karena selama ini ruqyah selalu identik dengan kesurupan. Tidaklah orang mengenal ruqyah kecuali slalu disertai dengan kesurupan. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa ruqyah akan selalu kesurupan, karena memang demikian yang terjadi. Maka diantara mereka ketika mendengar istilah ruqyah, yang muncul dibenaknya adalah kesurupan, nanti bisa bicara macam-macam (tanpa sadar), ngamuk (marah-marah tanpa sadar), dan lain-lain. Banyak diantara masyarakat takut ketika berhadapan dengan ruqyah, mendengar istilahnya saja sudah takut. Karena mereka takut ketika ikut ruqyah, akan kesurupan dan menyebut aib-aib dirinya didepan banyak orang. Oleh karena itu, kita perlu meluruskan ruqyah syar’iyyah ini agar sesuai dengan apa yang diharapkan syari’at.

Dalam memahami ruqyah syar’iyyah tanpa kesurupan ini ada beberapa hal yang harus dipelajari, antara lain:

  1. Pentingnya memahami psikologi

Psikologi yang dimaknai disini bukan dalam pengertian disiplin ilmu –jurusan atau fakultas psikologi-, akan tetapi psikologi yang dimaksud adalah psikologi dasar tentang kondisi kejiwaan manusia secara dasar- seperti:

  • Marah
  • Sedih
  • Takut
  • Putus asa
  • Tidak percaya
  • Bingung atau tidak paham
  • Stres
  • Depresi
  • Introvert (cenderung pendiam, menyendiri)
  • Extrovert (cenderung terbuka, suka bergaul)

Selain itu, seorang roqi juga dituntut memahami hati; perannya, fungsinya dan pembagian hati antara lain hati yang mati, yang sakit (maridh), maupun yang sehat (salim), baik dari sisi pengertiannya, ciri-cirinya dan contoh-contoh orangnya dalam sejarah agama Islam (kitab Ighotsatul Lahfan).

Materi-materi ini bertujuan untuk membekali roqi memahami kepribadian manusia, karakter dan sifatnya. Yang nantinya akan sangat bermanfaat untuk proses ruqyah. Misalkan orang marah; bagaimana wajah orang marah dari raut muka, rona wajah, matanya, kemungkinan gerakan tangan mau memukul, mencekik, kaki mau menendang dan lain-lain. Sehingga jika target ruqyah itu tidak terjadi kesurupan, maka roqi bisa mencegah terjadinya kesurupan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan potensi timbulnya kemarahan dari ekspresi wajahnya. Sehingga jika nampak hal itu bisa dialihkan ke hal lain, dengan ditenangkan -disuruh tarik nafas- disuruh rileks, jangan tegang – relaksasi atau bahkan jika sudah tenang kita minta wudhu, insya Alloh sesudah wudhu akan tenang kembali- sehingga proses ruqyah bisa dilanjutkan dan tidak terjadi kesurupan, begitu seterusnya.

Hal yang sama juga dilakukan terhadap rasa takut ataupun sedih, seorang roqi harus mengetahui bahwa kesedihan yang tampak di wajah atau rasa takut yang berlebihan akan sangat rentan menimbulkan reaksi kesurupan.

Hal lain yang harus diketahui oleh roqi bahwa reaksi kesurupan yang dipicu karena marah akan berbeda dengan kesurupan yang dipicu oleh rasa takut yang dominan dan sedih yang dominan pula. (akan dijelaskan lebih detil di buku tasykhish atau diagnosa, insya Alloh)

Pengetahuan-pengetahuan sederhana dan dasar tentang psikologi manusia di atas (marah, takut, sedih, introvert dan lain-lain) sebagian besar bisa muncul di benak kita apabila kita sudah terbiasa dakwah dilapangan, karena 90% lebih yang berisi sunnah Nabi alaihi shalatu wa sallam, begitupun juga sunnah salafush sholih semua berisi materi-materi psikologi. Dan hal ini sangat bisa dipahami karena ajaran agama Islam diturunkan untuk kehidupan manusia bahkan jin sekalipun.

Berbeda untuk kasus psikologi seperti stres, depresi, skizofrenia, kita butuh membaca untuk meperluas pengetahuan kita tentang gangguan kejiwaan tersebut, yang fungsinya sekali lagi untuk mempermudah dalam proses terapi dengan ruqyah syar’iyyah. (insya Alloh penulis akan bahas kasus-kasus kejiwaan secara lebih detil dan bagaimana terapinya, dalam buku tersendiri)

Untuk tema hati, pengertian, seluk beluknya, pembagiannya, ciri-cirinya dan lain sebagainya, pembaca bisa mendalami kitab-kitab Ibnul Qoyyim al Jauziyah seperti Ighotsatul Lahfan, ad Daa’ wa Dawaa’, Madarijus Salikin, dan lain-lain. Pemahaman masalah hati ini sangat penting, karena baik tidaknya hati seseorang akan tampak diwajahnya, tampak dimatanya, tampak dimulut apa yang diucapkan, tampak diperilakunya dan seterusnya. Sehingga kita bisa menetapkan makna semuh pada seorang pasien dan sekaligus hakikat ukuran kesembuhan yang sesungguhnya yaitu hati yang salim.

Pada bab ini menitik beratkan, bahwa seorang yang turun di lapangan ruqyah, idealnya adalah seorang ustadz yang betul-betul ustadz yang menguasai kitab-kitab rujukan berbahasa arab atau ilmu syar’i. Jika tidak, maka khusus bagi seseorang yang ingin menguasai ilmu ruqyah syar’iyyah dituntut senantiasa membekali dirinya dengan ilmu-ilmu syar’i, khususnya kitab-kitabnya Ibnul Qoyyim al Jauziyah dan ulama-ulama yang lainnya, baik sebelum meruqyah, saat meruqyah dan setelah meruqyah sampai mati.

Jadi jangan berhenti untuk menuntut ilmu syar’i agar kita selamat dari kesalahan-kesalahan yang tidak kita ketahui, tidak kita sengaja meskipun didepan kita terkadang nampak benar. Karena itu, kita para roqi harus selalu kontak dan terhubung dengan ulama / para asatidz yang lainnya yang kompeten dibidang ilmu-ilmu syar’i untuk dijadikan rujukan.

Terakhir, bukan berarti kita tidak mengakomodasi bagi setiap orang yang ingin belajar ruqyah syar’iyyah untuk menjadi roqi dengan kemampuan yang mungkin terasa berat atau sulit untuk dituntut seperti ustadz dari pondokan yang punya kemampuan baca kitab -yang mengerti ilmu syar’i dan lain-lain- akan tetapi penulis menganjurkan selalu ada koordinasi dengan ustadz-ustadz yang memang paham betul situasi di lapangan ruqyah (karena ada ustadz-ustadz yang paham ilmu syar’i tapi tidak tahu lapangan ruqyah / minim sekali pengalaman di lapangan ruqyah), sehingga fatwa dan petunjuknya kerap kali tidak pas – ada kesenjangan antara fatwa (teori atau tauqifiyah) dan praktek ruqyah yang sesungguhnya dilapangan (realita atau fakta, tajribah).

bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *