Dalam kitab beliau, al Thibb an Nabawi menyatakan bahwa pengobatan menyangkut 2 hal:
- Dari sisi orang yang kesurupan (terkena gangguan jin).
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala menjelaskan bahwa dari sisi orang yang terkena gangguan haruslah memiliki jiwa yang kuat, menghadap dengan benar kepada Allah Azza wa Jalla yang menciptakan segala ruh dan yang bisa menyembuhkannya serta perlindungan yang benar dari hati dan lisan yang benar. Dan perlindungan dengan hati dan lisan yang benar ini merupakan bentuk perlawanan / pemberantasan gangguan, yang tidak akan sempurna kecuali dengan 2 hal pula, yaitu:- Senjata yang benar
- Pelaku yang menggunakan senjata itu haruslah kuat
Manakala kedua hal tersebut satu diantara keduanya tidak terpenuhi, maka tidak akan bermanfaat senjata yang baik tersebut. Apalagi jika keduanya tidak ada: hati rusak, tauhidnya rusak, tawakkalnya rusak, ketaatannya rusak, ditambah lagi tidak ada senjata. Apa yang terjadi? Kondisi terakhir ini adalah kondisi orang yang terkena gangguan jin parah sekali mungkin juga bisa dikatakan telah kesurupan, termasuk juga orang yang tersesat jalan hidupnya dan sesat.
Kondisi yang sedemikian berat tingkat gangguannya seakan-akan menurut beliau sudah tidak ada lagi harapan kesembuhan. Sehingga kita sering juga menetapkan orang yang tidak bisa sembuh dan tidak disembuhkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala adalah orang yang tidak mau taubat dan tidak mendapat hidayah.
Beliau juga menegaskan betapa pentingnya bagi roqi untuk memperhatikan secara serius memperbaiki keimanan / tauhid marqi, ibadah, hatinya, ketaatannya sebelum proses ruqyah. Yang berarti jangan lakukan ruqyah terlebih dahulu sebelum ada perubahan motivasi / niat pasien menjadi baik dihadapan Alloh subhanahu wa ta’ala dengan pencerahan / tausiyah yang sangat mencukupi. Atau kita dakwahi dulu panjang lebar dan jangan terburu-buru untuk diruqyah sebelum betul-betul mau berubah dan taubat.
Bahkan pencerahan kepada manusia ini juga berlaku hal yang sama kepada jin yang mengganggu meskipun tidak berhadapan langsung dalam kondisi kesurupan. Maksudnya tatkala kita harus membacakan ayat, kata Syekh Abdullah bin Muhammad as Sadhan hafidzahullahu ta’ala harus diniatkan dakwah agar jin mendapat hidayah.
Pada kenyataannya penulis sering menemukan hasil yang luar biasa. Proses ruqyah akan tuntas, manakala pasien mau bertaubat, yang rata-rata jin yang didalam tubuhpun menjadi mudah keluar. Seolah-olah jin tersebut ikut juga bertaubat. Dan memang secara prinsip, jika tubuh yang dimasuki jin sudah bertaubat dengan benar (nashuha), maka hampir bisa dikatakan jin mengikuti pola taubat orang tersebut / jin menjadi mudah keluar yang seolah-olah bisa dikatakan ikut taubat pula sebagaimana pendapat Syekh Abdullah bin Muhammad as Sadhan hafidzahullahu ta’ala diatas.
Kesimpulan yang kita bisa tarik dari paparan diatas, bahwa ruqyah akan sukses, jika pasien bertaubat dengan benar serta memperbaiki tauhidnya. Dengan kata lain, jika ruqyah mengalami kesulitan tidak perlu memaksakan diri harus diperlakukan dengan keras, dicekik, dipukul ataupun disembelih meskipun pada kondisi tertentu memungkinkan untuk dilakukan. Karena hal itu menunjukkan proses taubat yang tidak sempurna dari sang pasien.
Dan kesimpulan inilah yang ditemukan penulis sudah lama, sehingga proses ruqyah berubah dan teori-teori ruqyahpun mengalami perubahan. Ruqyah tidak lagi sulit dan menyulitkan akan tetapi menjadi mudah dengan hasil yang luar biasa. Ruqyah menjadi efisien, penuh dengan dakwah, waktu yang fleksibel dan bisa dilakukan di banyak tempat, tanpa mengganggu aktifitas. Hampir bisa dikatakan tidak ada lagi kasus yang sulit untuk diatasi. Dan semua itu berkat petunjuk dan keridho’an Alloh subhanahu wa ta’ala.
Jadi jika kita simpulkan ruqyah syar’iyyah ini dakwah, baik pada pasien maupun jin, sehingga ada baiknya jika kita hindari tindakan kekerasan pada jin - Dari sisi orang yang meruqyah
Begitu pula dengan peruqyah harus memiliki 2 senjata tersebut diatas yaitu senjata iman / tauhid, ketaatan dan tawakkal. Ditambah lagi dengan senjata utamanya yaitu terus menuntut ilmu syar’i dan keikhlasan dalam beramal.
Faktor keikhlasan ini menurut Syekh Abdullah bin Muhammad as Sadhan hafidzahullahu ta’ala didalam buku Qowa’id Ruqyah Syar’iyyah, justru menempati urutan yang pertama. Sebagai kaidah yang menjadikan ukuran kekuatan peruqyah, berhasil atau tidaknya dalam meruqyah dan diterima atau tidaknya amal sholihnya.
Hal yang sama, juga dinasehatkan oleh Syekh Wahid Abdussalam Bali hafidzahullahu ta’ala, agar kita tetap menjaga keikhlasan dengan tidak menceritakan hasil ruqyah. Dengan harapan agar Alloh subhanahu wa ta’ala menerima amal sholih kita, bahkan beliau juga menasihati kita semua agar jika berhasil proses jin itu keluar, tidak mengatakan sayalah yang telah berhasil mengeluarkan, akan tetapi Alloh-lah yang mengeluarkan.
Dengan kata lain, jika kita semakin lama terjun dalam dunia ruqyah dan jalan kita benar, maka akan semakin menyadari bahwa peruqyah tidak memiliki apapun, tidak juga ilmu, keberanian, keselamatan, apalagi kekuatan kecuali semua adalah milik Alloh subhanahu wa ta’ala dan dalam kendali sepenuhnya dari Alloh subhanahu wa ta’ala.
Bukankah inti dari ruqyah adalah mengagungkan Alloh Azza wa Jalla?
Maka sudah saatnya kita koreksi kebersihan hati kita, keikhlasan dalam meruqyah biarkan hanya Alloh subhanahu wa ta’ala saja yang tahu, dan rahasiakan amal kita, karena lebih bisa tercapainya keikhlasan.
Sudah saatnya kita tidak perlu laporan kepada umat bahwa kita telah berhasil meruqyah ini, itu yang justru menjadikan umat bergeser aqidahnya, karena menganggap bahwa peruqyahlah yang kuat, hebat dan menjadi tergantung pada kita. Jauhi pintu-pintu masuk syaithon mulai dari riya’, sum’ah dan ingin tenar (tersohor). Mari bersatu dalam ukhuwah yang menyejukkan, seperti nasehat para salaf, jika kita bertemu orang yang lebih tua, kita yakini dia lebih banyak amalnya, jika kita bertemu orang yang lebih muda, dia lebih sedikit dosanya dan jika kita bertemu orang yang sebaya, maka kita tanamkan bahwa ia lebih baik dari kita. Sikap ini akan menjadikan kita tawadhu‘ dan terhindar dari perpecahan. Ingat, tidak ada yang lebih hebat, lebih berilmu, lebih benar kecuali Alloh subhanahu wa ta’ala. Ya Alloh… Allahumma salimna jamii’an. Aamiin
Dari kitab Ruqyah Syar’iyyah tanpa Kesurupan, Ust Arifuddin S.Ag, M.Pdi, hal 69 – 74