Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin berkembangnya peradaban manusia, teknologi, dan budaya maka batas antar negara seolah tidak ada. Seseorang dengan mudahnya mengetahui dalam hitungan menit peristiwa yang terjadi di negara lain. Bahkan tidak cukup hanya sekedar tahu akan tetapi bisa melakukan kontak langsung layaknya face to face via internet atau fasilitas gadget yang lainnya.

Kemjuan yang begitu pesat ini tentunya juga menandakan perubahan kemajuan juga dari sisi pengetahuian ke arah yang lebih maju termasuk juga dengan mudahnya seseorang mengakses pengetahuan agama baik via media elektronik berupa TV atau radio ataupun media cetak seperti majalah, buletin dan buku. Termasuk mudahnya seseorang untuk mengakses ilmu ruqyah syar’iyyah melalui berbagai media tersebut.

Kalau kita amati di berbagai media, terutama televisi atau ruqyah yang diupload di internet, ruqyah syar’iyyah itu selalu diikuti oleh kesurupan. Bahkan ada kesan tidak afdhol kalau ruqyah itu tidak ada kesurupan. Secara umum, kesan publik dalam masyarakat kita ketika mereka bicara ruqyah, maka yang dibayangkan adalah kesurupan. Sebagaimana berbagai media yang telah mempertontonkan acara-acara ruqyah, sudah bisa dipastikan kesurupan. Apakah memang begini hakikat ruqyah syar’iyyah itu? Pasien selalu kesurupan. Marilah kita lihat fenomena ruqyah yang telah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Jika kita mengacu pada hadits-hadits yang terkait dengan sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam atau sahabat dalam meruqyah maka kita akan menemukan petunjuk praktek ruqyah yang menggambarkan pasien dengan gangguan jin (“kesurupan”) -diobati oleh Nabi alaihi sholatu wa sallam sehingga sembuh, dan bukan dari yang sadar (“tidak kesurupan”)- saat diruqyah oleh Nabi alaihi sholatu wa sallam kemudian menjadi kesurupan, sebagaimana dalam riwayat-riwayat berikut ini:

  1. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnadnya dari Ibnu Abbas, “Bahwa ada seorang wanita datang kepada Nabi dengan membawa anak laki-lakinya, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini terkena penyakit gila / kesurupan. Dia mengganggunya kami saat makan siang dan makan malam, maka dia merusak suasana kami. Maka Rasulullah mengusap dadanya dan mendoakannya, tiba-tiba dia batuk sekali dan memuntahkan benda hitam seperti anak anjing kecil hitam, dan dia pun sembuh.” (HR. Ahmad, sanadnya dhoif) Syekh al Albani rahimahullahu ta’ala dalam Silsilah as Shahihah di hadits no 2918 yang berbunyi Wahai syaithon, keluarlah dari dada Utsman (ibn Abil al Ash ats Tsaqofi) 3x, menyebut juga hadits Ya’la bin Murrah yang isinya ada wanita yang membawa anaknya yang berusia 7 tahun yang diganggu jin 2 kali sehari, lalu Rasulullah meminta anak itu didekatkan lalu beliau meludah dimulutnya dan berkata, “Keluarlah wahai musuh Alloh, saya Rasulullah.” Setelah itu syekh al Albani berkata, “Secara umum, hadits ini dengan adanya mutaba’ah-mutaba’ah ini adalah jayyid (bagus)
  2. Imam Thabrani dalam Mu’jam al Kabir meriwayatkan dari Ummu Aban binti al Wazi’ dari ayahnya bahwa kakeknya al Zari’ datang kepada Nabi bersama anaknya yang gila. Maka beliau berkata, “Dekatkan dia padaku, jadikan punggungnya dekat denganku.” Maka beliau memegang bagian baju paling atas hingga bawah dan memukul punggungnya hingga saya melihat putihnya kedua ketiak beliau, sambil mengatakan, “Keluarlah musuh Alloh, keluarlah musuh Alloh” kemudian sang anak menghadap dan memandang dengan pandangan orang yang sehat, tidak seperti pandangannya yang pertama
  3. al Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dalam hadits panjang dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah dalam pernajalan haji yang Rasulullah lakukan. Maka datanglah seorang wanita kepada beliau di lembah Rauha’ membawa anak laku-lakinya. Ia berkata, “Ya Rasulullah, ini anak laki-lakiku, ia tidak pernah sadarkan diri sejak lahir aku melahirkannya sampai hari ini.” Maka Rasulullah mengambil darinya dan meletakkannya antara dirinya dan pelana. Kemudian beliau meludah di mulutnya sambil berkata, “Keluar wahai musuh Alloh, sesungguhnya aku utusan Alloh.” Kemudian beliau menyerahkan anak itu kepada ibunya, sambil berkata, “Ambillah, tidak ada masalah dengannya.”
  4. Abu Ya’la meriwayatkan dari Hanasy ash Sho’ani dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya ia membacakan ruqyah di telinga seseorang yang sakit, maka ia tersadar, maka beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kau bacakan pada telinganya?” Ia (ibn Mas’ud) menjawab, “Aku membaca al Quran surat al Mu’minun ayat 115-118. Kemudian Nabi bersabda, “Seandainya ada laki-laki yang diberikan taufiq oleh Alloh untuk membacakannya pada gunung, niscaya gunung itu akan runtuh.” al Haitsami berkata, “Dan dalamnya (sanad hadits ini) terdapat Ibnu Lahi’ah, dalam dirinya ada sisi kelemahan (dhoif), sementara haditsnya hasan, dan para perawi lainnya adalah perawi-perawi yang dipakai dalam kitab ash Shahihain

Keempat hadits diatas menjelaskan beberapa hal penting:

  1. Bahwa penanganan ruqyah berdasarkan sebab yang tidak hanya satu dan teknik yang juga berbeda dalam menanganinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syekh DR Abdullah bin Muhammad as Sadhan
  2. Perlunya memahami latar belakang kasus setiap gangguan jin
  3. Petunjuk dan teknik Rasulullah dalam meruqyah anak sesuai dengan tingkat keparahan: mengusap, meludah, memukul sesuai titik tempat jin, menyembur dan mendo’akannya
  4. Petunjuk Rasulullah dalam meruqyah diatas menunjukkan prinsip, dari kondisi kesurupan menjadi sadar, bahkan tanpa membaca ayat hanya cukup dengan berdo’a saja. Dan semua itu terkandung pada dosis, sebagaimana dalam pengobatan medis
  5. Pentingnya peruqyah menjaga keikhlasan dan meluruskan tauhid serta istiqomah dalam ketaatan agar bacaan dan terapi ruqyahnya untuk mendapatkan taufiq dari Alloh subhanahu wa ta’ala

Kondisi yang sama juga dilakukan oleh para generasi berikutnya (yang mengikuti Nabi dan para sahabat dengan pemahaman generasi pertama dan terbaik dalam umat ini), tidak ada riwayat penanganan ruqyah yang menggambarkan proses ruqyah sebagaimana sekarang ini, yaitu orang yang tadinya sadar menjadi kesurupan

Wallahu a’lam (bersambung)

(Ust Arifuddin, Ruqyah Syar’iyyah tanpa Kesurupan, hal 27-34)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *